TIKUS adalah hewan yang harus diberantas. Ia membawa penyakit, kotor, dan merusak rumah tinggal. Namun, menangkap tikus bukanlah pekerjaan mudah. Ia gesit dan pandai berkelit. Penangkap tikus yang hanya menggunakan tangan kosong harus siap kecewa. Tikus akan lebih mudah ditangkap dengan jebakan.
SAMA halnya dengan tikus, koruptor harus diberantas. Ia amat merusak dan membahayakan kehidupan kita berbangsa. Namun, menangkap koruptor amatlah sulit. Terlebih manakala korupsi sudah pula menjadi praktik keseharian aparat peradilan.
Mafia peradilanlah yang justru mengatur alur penyelewengan hukum agar para koruptor terlepas dari jerat-jerat keadilan. Mafia peradilanlah, dengan para koruptor, yang akhirnya melahirkan mafia koruptor.
Maka, diperlukan inisiatif cerdas dan tegas untuk mendobrak kesolidan mafia koruptor. Inisiatif itu harus disusun terencana, rapi, sistematis, dan pada akhirnya menjebak agar sang tikus koruptor tidak berkutik.
Wajib
Argumentasi bahwa pengungkapan korupsi tidak boleh direncanakan dalam suatu skenario penjebakan adalah argumentasi yang menyesatkan. Korupsi adalah kasus amat terencana, rapi, dan sistematis dan sering dilakukan oleh orang-orang terpelajar.
Kasus korupsi berjamaah, yang sekarang marak terjadi, konon dilakukan oleh kepala pemerintahan daerah, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), orang-orang yang ahli hukum (baca: kriminolog) yang mungkin bergelar profesor dan doktor. Karena itu, Bernard de Speville dalam bukunya, Hong Kong: Policy Initiatives Against Corruption, secara tegas mengatakan bahwa korupsi adalah salah satu kejahatan yang paling sulit dideteksi, diinvestigasi, apalagi dibuktikan.
Menghadapi kejahatan terencana oleh orang-orang terpelajar dan berkuasa demikian, proses investigasinya haruslah progresif. Penjebakan adalah salah satu bentuk progresivitas itu.
Metode penjebakan jelas bukanlah barang haram. Ia justru cara paling efektif untuk mengungkapkan kasus-kasus kejahatan tingkat tinggi sejenis korupsi. Metode ini bahkan sudah menjadi standar pengungkapan kasus-kasus sulit di banyak negara maju. Salah satu metode penjebakan itu biasanya menggunakan penyamaran identitas (undercover).
Di Amerika Serikat, menurut The Attorney General’s Guidelines on Federal Bureau of Investigation Undercover Investigation, penyamaran dilakukan oleh agen Biro Investigasi Federal Amerika Serikat (FBI) untuk mendeteksi dan mengantisipasi kasus-kasus korupsi, terorisme, dan kejahatan-kejahatan terorganisasi lainnya.
Dalam makalahnya, di seminar internasional perang melawan korupsi di Bangkok tahun 2000, Ralph Horton berpendapat bahwa penyamaran dan penjebakan adalah cara paling efektif untuk membongkar kasus korupsi.
Berkait dengan penyelidikan kasus korupsi dengan cara menjebak ini, baru-baru ini, pada bulan September 2004, Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) telah mengeluarkan buku petunjuk Practical Anti-Corruption Measures for Prosecutors and Investigators.
Pada Bab 10 buku tersebut dibahas secara khusus teknik, tata cara, dan strategi operasi penyamaran untuk membongkar kasus-kasus korupsi. Menurut buku ini, operasi penyamaran (undercover operations) adalah pelaksanaan Pasal 50 tentang teknik investigasi khusus kasus korupsi yang diatur dalam United Nation Convention Against Corruption (Konvensi PBB untuk Pemberantasan Korupsi).
Sejalan dengan argumentasi Profesor Satjipto Rahardjo yang menegaskan diperlukannya cara-cara luar biasa untuk memberantas korupsi, buku PBB di atas menegaskan perlunya teknik investigasi khusus guna mengumpulkan bukti-bukti kasus korupsi. Ditegaskan pula, ketika proses penjebakan dilakukan, perlengkapan-perlengkapan semacam audio-video adalah peralatan standar yang diperlukan guna memproduksi alat bukti.
Di Indonesia, penggunaan teknologi untuk memproduksi bukti korupsi dengan teknologi audio-video itu terbuka lebar karena Pasal 12 Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi mengatakan, dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan.
Pentingnya saksi pelapor
Dari contoh kasus di atas, terlihat jelas bahwa saksi pelapor yang mau berpura-pura bernegosiasi-bahkan menyuap-dan berinisiatif menjebak para polisi korup tersebut mempunyai peran yang teramat strategis.
Pertama, saksi pelapor inilah yang memberikan informasi awal tentang adanya praktik korup yang dilakukan para polisi tersebut. Selanjutnya, saksi pelapor itu pula yang menjadi aktor pahlawan utama dalam proses penjebakan untuk menghasilkan bukti-bukti korupsi yang tak terbantahkan.
Saking pentingnya posisi saksi pelapor itu, peran-peran “peniup peluit” (whistleblower) kasus korupsi seharusnya amat diperhatikan sebagai salah satu elemen yang harus ada-dan wajib dilindungi-dalam upaya pemberantasan korupsi.
Sudah merupakan lagu lama bahwa saksi pelapor atau saksi korban yang dengan gagah berani berinisiatif melaporkan kasus korupsi justru akan dijadikan pesakitan oleh jaringan mafia korupsi.
Modus operandi gugatan balik pencemaran nama baik, teror fisik maupun mental, penjatuhan sanksi oleh atasan dan sejenisnya adalah lagu-lagu lama yang sering dihadapi oleh pahlawan-pahlawan pembongkar kasus korupsi ini.
Oleh karena itu, Pasal 33 Konvensi PBB untuk Pemberantasan Korupsi secara tegas mengatur tentang perlunya perlindungan bagi para pahlawan korupsi tersebut. Atau dalam konteks Indonesia, teramat penting penyegeraan diberlakukannya undang-undang perlindungan saksi yang drafnya masih saja menggantung di parlemen.
Dalam kasus Khairiansyah, upaya-upaya untuk justru menghukum, menggugat dengan dalih pencemaran nama baik, memberikan sanksi, menyatakan dia “pahlawan kesiangan” adalah tindakan-tindakan yang justru koruptif. Alih-alih menjadi pendorong pemberantasan korupsi, tindakan demikian justru akan membuat pelaku korupsi tertawa terbahak-bahak.
Khairiansyah adalah manusia setengah malaikat di negeri korup. Ia adalah “ustadz di kampung maling”. Memukuli ustadz justru akan membuat para maling tersenyum lebar. Indonesia justru perlu duplikasi masif Khairiansyah-Khairiansyah yang berani melakukan jebakan-jebakan cerdas atas semua koruptor di negeri ini. Kepada Khairiansyah bukan sanksi yang harus diberikan, tetapi apresiasi telah berprestasi. Terima kasih pahlawan Khairiansyah!